PROPOSAL PENELITIAN
DEMOKRASI DALAM ISLAM:
STUDI PERBANDINGAN PEMIKIRAN MUHAMMAD ABID AL-JABIRI DAN ABDOLKARIM SOROUSH
A. Latar Belakang Masalah
Wacana tentang hubungan Islam dan demokrasi telah lama menjadi perdebatan yang hangat di dunia Islam. Sejak dasawarsa 1980-an, demokrasi menjadi trend pemikiran yang banyak dikaji oleh para penulis tentang politik dunia. Salah satu isu yang akhir-akhir ini banyak dikaji adalah masalah demokrasi di dunia Islam. Banyak kajian mutakhir tentang hubungan Islam dan demokrasi, seperti yang dilakukan oleh Samuel P. Huntington dan Francis Fukuyama, memberikan penilaian yang negatif bahwa Islam tidak sesuai dengan demokrasi. Pandangan mereka semacam itu didasarkan pada sejumlah ajaran Islam (doktrin) dan praktek kehidupan politik umat Islam yang dianggap cenderung berseberangan dengan demokrasi.
Namun, juga terdapat sejumlah penulis Barat lain menilai positif, misalnya John L. Esposito dan John O. Voll yang memandang bahwa di berbagai wilayah di dunia, gerakan-gerakan kebangkitan agama dapat berjalan seiring dan terkadang justru memperkuat pembentukan sistem politik yang demokratis. Tentang fenomena yang terjadi di dunia Islam, mereka berpendapat bahwa isu-isu itu muncul ke permukaan disebabkan adanya kebangkitan Islam dan menguatnya tuntutan partisipasi rakyat yang lebih besar dalam proses politik. Mereka mencontohkan bangkitnya Revolusi Islam Iran Tahun 1979 dan pembentukan Front Keselamatan Islam (FIS) di Aljazair pada awal 1990-an sebagai bentuk kebangkitan Islam yang menuntut proses-proses politik yang demokratis. Pandangan mereka didasarkan pada praktek kehidupan politik umat Islam.
Pertanyaan atas keterkaitan Islam dan demokrasi kembali mencuat ketika Islam dihadapkan oleh persoalan-persoalan aktual dalam tantangan modernitas, termasuk produk pemikiran Barat. Ketika tradisi diperhadapkan pada modernitas, muncul tiga kecenderungan orientasi keberagamaan, yaitu liberalisme (sekularisme), konservatisme, dan moderatisme. Kecenderungan yang pertama menerima begitu saja modernitas sebagai konsekuensi perubahan zaman dan lebih mengutamakan konsep politik model Barat beserta lembaga-lembaganya. Kecenderungan yang kedua lebih mengukuhkan tradisi sebagai satu-satunya solusi yang dianggap mampu mengatasi berbagai masalah dan memandang bahwa agama sepatutnya menentukan watak organisasi politik, serta memosisikan hukum Islam (syariah) sebagai pengatur kehidupan masyarakat. Sementara itu, kecenderungan yang ketiga berada di tengah-tengah, antara sikap tetap menjaga tradisi dan juga mau menerima pemikiran-pemikiran modern (Barat).
Apakah Islam compatible dengan demokrasi? Untuk menjawab hal ini diperlukan kajian mendalam terhadap tradisi Islam yang membincangkan demokrasi. Esposito dan Voll, menegaskan bahwa Islam sesungguhnya memiliki seperangkat simbol dan konsep yang menumbuhkan kebebasan (freedom) dan persamaan (equality) sebagai prinsip-prinsip dalam demokrasi. Mereka juga menegaskan bahwa sangat penting meneliti sumber-sumber konseptual di dalam tradisi Islam yang membincangkan demokrasi. Pernyataan mereka di atas didasarkan pada doktrin Islam yang membahas tentang demokrasi.
Kajian tentang demokrasi yang terkait dengan tradisi agama dilakukan oleh banyak intelektual muslim kenamaan, di antaranya, dua yang dipilih dalam studi ini, Muhammad Abid al-Jabiri dan Abdolkarim Soroush. Al-Jabiri adalah intelektual Muslim asal Maroko yang dikenal dengan mega proyek “Kritik Nalar Arab” (Naqd ‘Aql al-‘Arabi), sedangkan Soroush adalah intelektual muslim asal Iran yang dikenal sangat gigih menyerukan pentingnya membangun rasionalitas berpikir, kebebasan, dan demokrasi di dunia Islam.
Tesis ini mengambil pemikiran Muhammad Abid al-Jabiri dan Abdolkarim Soroush sebagai bahan reflektif sekaligus perbandingan dalam mengkaji demokrasi dalam Islam. Kedua tokoh yang masih hidup tersebut dipilih oleh karena representasi keduanya sebagai intelektual muslim dari wilayah Arab dan non Arab. Al-Jabiri mewakili wilayah yang pertama, sedangkan Soroush mewakili yang kedua.
Dunia Islam kini sedang mengalami suasana pertikaian yang beragam, yaitu pertikaian antar pendukung kelompok elite politik. Kelompok elite yang berkuasa berupaya mengembangkan pengaruhnya dengan membentuk lembaga-lembaga yang mampu meningkatkan keunggulan, pengalaman, dan ambisinya yang memuaskan. Kondisi inilah yang menyebabkan perlunya para intelektual muslim untuk merumuskan konsepsi yang mendalam tentang demokrasi dalam Islam.
Al-Jabiri menegaskan bahwa demokrasi adalah suatu keniscayaan sejarah yang sangat dibutuhkan masyarakat Arab saat ini. Penegasan ini didasarkan pada kenyataan tidak adanya demokrasi dan civil society di seluruh negara Arab, ditambah tidak adanya negara institusional yang keberadaan dan pengaturannya didasarkan pada institusi-insitusi independen yang dimiliki negara itu sendiri. Demikian halnya, Soroush juga memandang pentingnya demokrasi di dunia muslim. Salah satu prinsip dalam demokrasi adalah tuntutan untuk menciptakan keadilan struktural, yaitu keadilan yang berhubungan dengan konstruksi sosial dan kekuasaan negara. Menurutnya, keadilan adalah warisan tradisi Islam yang sering dilupakan untuk menciptakan tatanan politik yang lebih baik.
Di antara isu-isu yang sering diperdebatkan dalam membincangkan kompatibilitas Islam dan demokrasi adalah isu tentang konsep otoritas, syariah, dan kebebasan dalam Islam. Tesis ini menjadikan isu-isu tersebut untuk menguji sejauhmana kompatibilitas Islam dan demokrasi. Pemilihan ketiga isu tersebut didasarkan pada tiga alasan.
Pertama, persoalan otoritas dalam praktek sejarah Islam sering dipahami sebagai penyatuan antara agama dan politik, dimana sang khalifah dianggap merepresentasikan kedaulatan Tuhan di muka bumi. Realitas ini menunjukkan adanya suatu permasalahan yang harus dipecahkan karena hal ini bertentangan dengan konsep demokrasi yang lebih mengukuhkan kedaulatan rakyat (manusia). Sehingga, Eickelman dan Piscatori yang menjadikan isu otoritas sebagai salah satu bahasan penting tentang politik Islam, merasa perlu untuk memberikan pengertian lain atas otoritas sebagai dua wilayah (agama dan politik) yang bisa dipisahkan, saling berkait, dan tumpang tindih sesuai konteks. Pengertian ini bisa dipahami lebih dekat dengan makna demokrasi, dengan merujuk pendapat sejumlah intelektual Muslim yang berhaluan “liberal”.
Kedua, syariah memiliki peran yang sangat sentral dalam sebuah pemerintahan yang bercorak “negara Islam”. Karakteristik utama sebuah pemerintahan Islam yang sah adalah bahwa semua tunduk kepada dan dibatasi oleh hukum syariah. Ketika syariah dijadikan dasar hukum negara, maka persoalannya terletak pada penunggalan pemahaman tentang syariah itu sendiri. Padahal, syariah yang sempurna hanya ada di tangan Tuhan. Ketika sudah diwahyukan, syariah sangat mengandalkan upaya interpretasi manusia, yang pada akhirnya bersifat tidak sempurna dan memunculkan beragam penafsiran terhadap makna-maknanya. Pemahaman yang terakhir lebih dekat dengan makna demokrasi karena mengandung pengertian bahwa keragaman tafsir atas syariah akan membuka ruang pluralitas dan toleransi yang merupakan bagian dari prinsip demokrasi itu sendiri. Abou El Fadl memasukkan isu syariah dan negara demokratis sebagai salah satu bahasan penting tentang Islam dan tantangan demokrasi. Menurutnya, penerapan syariah dalam negara demokratis merupakan sebuah paradoks karena semua hukum yang dijelaskan dan diterapkan dalam sebuah negara adalah hukum manusia, sehingga hukum agama tidak bisa diterapkan di dalamnya.
Ketiga, prinsip kebebasan merupakan nilai yang terkandung dalam demokrasi, di samping prinsip persamaan dan toleransi. Norman P. Barry menegaskan bahwa pemerintahan yang demokratis harus memberikan kebebasan rakyat yang sungguh-sungguh untuk berkumpul, mengomunikasikan ide-idenya, termasuk untuk bersikap berbeda dengan pemerintah. Untuk melihat demokrasi dalam Islam, isu kebebasan perlu dibahas. Berdasarkan tiga alasan di atas, tesis ini berusaha mengkaji isu-isu tersebut untuk menguji sejauh mana kompatibilitas Islam dan demokrasi. Penelitian dalam tesis ini diharapkan memperoleh sebuah konstruksi pemikiran tentang demokrasi Islam yang bisa diterima di dunia Islam.
B. Identifikasi Masalah
Konsep demokrasi diterima oleh hampir semua pemerintahan di dunia, bahkan pemerintahan yang otoriter juga menggunakan atribut “demokrasi” sebagai ciri pemerintahannya. Dunia modern saat ini seakan dihantui oleh munculnya proyek demokratisasi yang dilakukan negara-negara maju kepada negara-negara berkembang, termasuk di dalamnya dunia Islam. Dalam beberapa kasus konflik di Timur Tengah, pengaruh negara-negara Barat (terutama AS dan sekutunya) terhadap kondisi internal negara-negara muslim menjadikan isu demokrasi sebagai dalih intervensi penyelesaian masalah. Sebagai contoh adalah konflik di Irak pasca agresi militer AS dan sekutunya yang pada kenyataannya menyisakan masalah-masalah baru.
Isu-isu yang terkandung dalam demokrasi menimbulkan perdebatan di kalangan umat Islam tentang apresiasi dan kritik terhadap konsep ini. Pandangan umat Islam beragam, ada yang memandang demokrasi itu sesuai (kompatibel) dengan Islam, namun tidak sedikit pula yang menolak konsep ini bisa diterapkan dalam pemerintahan yang Islami. Isu-isu yang kerap menjadi pusat kontroversi dalam tubuh umat Islam dan dijadikan bahasan dalam tesis ini adalah isu seputar otoritas, syariah, dan kebebasan.
Kontroversi-kontroversi yang dimaksud di antaranya adalah isu penegakan khilafah Islamiyyah, isu penerapan syariah Islam, dan sikap sejumlah kelompok Islam fundamentalis yang mengekang kebebasan beragama kelompok lain. Isu yang pertama sering disuarakan oleh kelompok ………….. (…………..), isu yang kedua sering disuarakan kelompok ………….. (…………..), dan sikap yang ketiga pernah ditunjukkan kelompok ………….. (…………..) dan ………….. (…………..) dengan melakukan tindakan kekerasan dan intimidasi untuk mengusir acara ………….. (…………..) di Parung Bogor (Juli 2005).
Isu khilafah Islamiyyah merupakan kontroversi seputar otoritas karena berupaya membentuk sebuah pemerintahan Islam federal yang dianggap lebih mencerminkan kedaulatan Tuhan di muka bumi, di mana hak-hak-Nya diejawantahkan oleh sang khalifah. Isu penerapan syariah Islam secara formal dalam sebuah negara memunculkan masalah demokrasi karena maksud seperti ini menunjukkan adanya penunggalan pemahaman, padahal seharusnya syariah itu dipahami secara beragam dan kontekstual. Re-interpretasi terhadap syariah akan membuka ruang pencapaian tujuan kemaslahatan, termasuk di dalamnya demokrasi. Sementara itu, kasus yang menimpa Ahmadiyah membuka pertanyaan tentang kebebasan beragama. Padahal Islam menjamin kebebasan bagi setiap manusia (sebagaimana akan ditunjukkan pada pembahasan bab empat).
Masalah-masalah dalam penelitian ini adalah:
A. Bagaimana hubungan antara Islam dan demokrasi menurut Al-Jabiri dan Soroush?
B. Sejauh mana kompatibilitas Islam dan demokrasi menurut Al-Jabiri dan Soroush, dengan mengukur isu-isu otoritas, syariah, dan kebebasan sebagai alat uji?
C. Signifikansi Studi
Penelitian tentang demokrasi dalam Islam kini mendapat relevansi dan signifikansinya semenjak isu radikalisme mengemuka di dunia Islam. Radikalisme dan terorisme sering diasumsikan muncul sebagai konsekuensi atas kebijakan-kebijakan politis di negara-negara muslim yang otoriter dan tidak demokratis. Kajian tentang Islam dan demokrasi masih menarik untuk diangkat. Beberapa isu yang menjadi perdebatan internal umat Islam di sejumlah negara-negara Islam adalah seputar masalah otoritas kekuasaan, syariah, dan kebebasan.
Penelitian ini memiliki beberapa tujuan. Pertama, mengkaji konsep demokrasi dengan rujukan tradisi pemikiran Islam, di antaranya bagaimana respon intelektual Muslim terhadap hubungan Islam dan demokrasi, termasuk bagaimana pandangan Al-Jabiri dan Soroush tentang kompatibilitas keduanya. Kedua, melakukan kajian perbandingan pemikiran Al-Jabiri dan Soroush tentang beberapa isu-isu kontroversial yang mewarnai kajian demokrasi dalam Islam, seperti isu syariah, otoritas, dan kebebasan.
D. Kerangka Teori
Sebelum kerangka teori membahas tentang pengertian dan pendekatan demokrasi, perlu dijelaskan terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan politik Islam sebagai wilayah kajian ini. Secara teoritis, pengertian “politik” (politics) mempunyai arti aneka ragam kegiatan dalam suatu sistem masyarakat yang terorganisasikan (terutama negara) yang menyangkut pengambilan keputusan, baik mengenai tujuan-tujuan sistem itu sendiri maupun pelaksanaannya. Dengan demikian, pengertian “politik Islam” diartikan sebagai salah satu arena pemikiran Islam yang membahas tentang bagaimana cara berpikir dan cara bertindak umat Islam dalam kehidupan praktek politiknya.
a. Pengertian dan Pendekatan Demokrasi
Istilah demokrasi berasal dari kata Yunani, yaitu demos yang berarti rakyat dan kratos yang berarti pemerintahan “dari rakyat untuk rakyat”. Secara konseptual, demokrasi mempunyai arti sebagai ideologi yang ditata dengan memadukan nilai-nilai liberal, pemerintahan berdasarkan hukum, dan berdasarkan sistem pemilihan umum yang bebas. Prinsip-prinsip yang menjadi dasar dalam ide demokrasi adalah konstitusionalisme, kedaulatan rakyat, aparat yang bertanggung jawab, jaminan kewajiban sipil, pemerintahan berdasarkan undang-undang, dan asas mayoritas.
Demokrasi juga bisa diartikan sebagai suatu bentuk politik di mana rakyat sendiri yang memiliki dan menjalankan seluruh kekuatan politik, dengan tujuan untuk menentang pemerintah oleh satu orang (monarkhi) atau kelompok yang memiliki hak-hak istimewa (aristokrasi), dan bentuk-bentuk pemerintahan yang jelek dari kedua jenis pemerintahan ini (tirani dan oligarkhi).
Di samping pengertian di atas, juga terdapat beberapa definisi tentang demokrasi. Joseph A. Schumpeter mendefinisikan metode demokratis sebagai “suatu perencanaan institusional untuk mencapai keputusan politik di mana individu-individu memperoleh kekuasaan untuk memutuskan dengan cara perjuangan kompetitif atas suara rakyat”. Philippe C. Schmitter dan Terry Lynn Karl mendefinisikan demokrasi politik modern sebagai “suatu sistem pemerintahan di mana pemerintah mempertanggung jawabkan tindakannya kepada warga negara, bertindak secara langsung melalui kompetisi dan kerjasama dengan para wakil rakyat”. Sementara itu, Robert A. Dahl mendefinisikan demokrasi sebagai istilah yang berfungsi dalam memberikan kesempatan untuk:
1. partisipasi secara efektif,
2. setara dalam hak suara, di mana setiap orang harus mempunyai kesempatan yang sama dan efektif untuk memberikan suara,
3. mencapai pemahaman yang baik dan cerah, di mana setiap orang mempunyai kesempatan yang sama dan efektif untuk mempelajari kebijakan-kebijakan alternatif,
4. menjalankan kontrol akhir terhadap agenda, dan
5. melibatkan orang dewasa.
Berdasarkan definisi-definisi tersebut, demokrasi mengandung beberapa unsur penting, yaitu kekuasaan mayoritas, suara rakyat, pemilihan yang bebas dan bertanggung jawab. Pada masa kontemporer ini, penggunaan istilah demokrasi lebih bersifat pragmatis ketimbang filosofis, hal itu bisa dilihat pada karakteristik unsur-unsur dalam demokrasi. Sementara itu, pada masa pencerahan, demokrasi awal mulanya dipahami secara filosofis, yaitu ide tentang kedaulatan rakyat yang berlawanan dengan kedaulatan Tuhan (teokrasi) dan kedaulatan monarki (kerajaan).
Pemahaman demokrasi pada masa lalu tersebut tercermin dari Piagam Magna Carta yang ditulis oleh Raja John di Inggris (15 Juni 1215), yang memberikan dua pesan penting, yaitu bahwa kekuasaan pemerintah terbatas dan hak asasi manusia lebih penting daripada kedaulatan raja. Raja John menegaskan bahwa tidak ada orang yang bebas dari penegakan hukum, sehingga keadilan dapat dirasakan secara langsung oleh masing-masing individu (rakyat).
Pada dasarnya, tesis ini lebih memfokuskan pembahasan tentang Islam dan demokrasi dari sudut pandang filosofis, yang secara lebih mendalam mengangkat isu-isu otoritas, syariah, dan kebebasan sebagai alat uji terhadap kompatibilitas keduanya. Pandangan Al-Jabiri dan Soroush yang akan dibahas di akhir bab ini merupakan perdebatan wacana filosofis seputar masalah Islam dan demokrasi.
Sesudah perang dunia II, secara formil demokrasi telah menjadi dasar bagi kebanyakan negara-negara di dunia. Penelitian ………….. pada tahun 1949 menunjukkan bahwa mungkin untuk pertama kalinya dalam sejarah demokrasi dinyatakan sebagai nama yang paling baik dan wajar untuk semua sistem organisasi politik dan sosial yang diperjuangkan oleh pendukung-pendukung yang berpengaruh.
Penelitian tersebut menunjukkan bahwa demokrasi merupakan sistem politik yang terbaik dan terbukti banyak digunakan oleh negara-negara di dunia, beberapa di antaranya mendapatkan keuntungan yang diperoleh dengan menerapkan sistem ini. Dahl menyebut sedikitnya delapan keuntungan yang dapat dimanfaatkan dalam sistem politik yang demokratis, yaitu:
1. demokrasi menolong dalam mencegah timbulnya pemerintahan oleh kaum otokrat yang kejam dan licik,
2. demokrasi menjamin bagi warga negaranya sejumlah hak asasi yang tidak diberikan oleh sistem-sistem yang tidak demokratis,
3. demokrasi menjamin kebebasan pribadi yang lebih luas kepada warga negaranya,
4. demokrasi membantu orang-orang untuk melindungi kepentingan pokok mereka,
5. hanya pemerintahan yang demokratis yang dapat memberikan kesempatan sebesar-besarnya bagi orang-orang untuk menggunakan kebebasan dalam menentukan nasibnya sendiri, yaitu untuk hidup di bawah hukum yang mereka pilih sendiri,
6. hanya pemerintahan yang demokratis yang dapat memberikan kesempatan sebesar-besarnya untuk menjalankan tanggung jawab moral,
7. demokrasi membantu perkembangan manusia lebih total dari alternatif lain yang memungkinkan, dan
8. hanya pemerintahan yang demokratis yang dapat membantu perkembangan kadar persamaan politik yang relatif tinggi.
Dahl juga mengemukakan ada tujuh indikator yang harus ada dalam sistem yang demokratis:
1. kontrol atas keputusan pemerintah mengenai kebijakan secara konstitusional diberikan untuk para pejabat yang dipilih,
2. para pejabat dipilih melalui proses pemilihan yang teliti, jujur, dan tanpa paksaan,
3. semua orang dewasa mempunyai hak untuk memilih,
4. semua orang dewasa mempunyai hak untuk mencalonkan diri pada jabatan-jabatan di pemerintahan,
5. rakyat mempunyai hak untuk menyuarakan pendapat tanpa ancaman hukuman yang berat (subversif),
6. rakyat mempunyai hak untuk mendapatkan sumber-sumber informasi alternatif, dan
7. rakyat mempunyai hak untuk membentuk lembaga-lembaga atau organisasi-organisasi yang relatif independen, termasuk berbagai partai politik dan kelompok kepentingan yang independen.
Teoretisasi terhadap demokrasi melahirkan dua pendekatan yang sering digunakan dalam mengkaji konsep ini, yaitu pendekatan klasik-normatif dan pendekatan empirik-minimalis. Pendekatan klasik-normatif memahami demokrasi sebagai sumber wewenang dan tujuan (tentang bagaimana demokrasi itu seharusnya), sedangkan pendekatan empirik-minimalis lebih menekankan pada sistem politik yang dibangun (deskripsi tentang apa demokrasi itu sekarang).
Pendekatan klasik-normatif banyak dipengaruhi oleh garis pemikiran klasik dari zaman Yunani kuno, abad pertengahan, hingga pada pemikiran sosialisme Karl Marx. Pendekatan ini memaknai dan mengukur demokrasi secara maksimalis dengan memasukkan dimensi-dimensi non-politik (sosial, ekonomi, dan budaya). Sebagai contoh, misalnya, konsep kebebasan tidak saja dimaknai sebagai sebagai kebebasan politik saja, tetapi pemaknaannya lebih luas, yaitu mencakup kebebasan sosial-ekonomi (bebas dari ketidakadilan, kemiskinan, kebodohan, keterbelakangan, dan sebagainya). Di samping itu, pendekatan ini sangat memerhatikan elemen konstitusi dan gagasan rule of law (konstitusionalisme) untuk mengatur prosedur kelembagaan, hak dan kewajiban rakyat, serta untuk membatasi kekuasaan. Konstitusionalisme adalah sebuah gagasan kontraktual antara penguasa (negara) dan rakyat (masyarakat). Gagasan ini lahir melalui dua ide utama, yaitu
1. konstitusionalisme mencakup pembatasan kekuasaan dengan doktrin Trias Politica, sehingga kekuasaan dibatasi dengan hukum dasar, dan penguasa tunduk terhadap kedaulatan rakyat,
2. konstitusionalisme mencakup pemberian jaminan hak-hak sipil dan politik bagi warga negaranya. Warga negara harus diberi jaminan kebebasan untuk berbicara, berkumpul, berserikat, memperoleh penghidupann yang layak, keadilan, dan sebagainya.
Pendekatan empirik-minimalis banyak dipengaruhi oleh gagasan Joseph Schumpeter yang memandang demokrasi sebagai metode politik. Menurutnya, demokrasi adalah pengaturan kelembagaan untuk mencapai keputusan-keputusan politik, di mana individu-individu dapat memperoleh kekuasaan dengan perjuangan dalam memperebutkan suara rakyat pemilih, kemudian membuat keputusan melalui perjuangan dalam memperoleh suara rakyat. Dengan demikian, kehendak rakyat bukanlah penggerak demokrasi sebagaimana dipahami dalam pendekatan klasik-normatif, melainkan adalah hasil proses politik. Dalam pemahaman Schumpeterian, dunia modern yang kompleks ini akan dapat diatasi apabila negara yang berdaulat dipisahkan dengan rakyat yang berdaulat, dengan penegasan bahwa peran yang terakhir dibatasi seminimal mungkin. Maksudnya, istilah yang tepat digunakan adalah kehendak mayoritas dalam hukum dan kebijakan politik, sebab penggunaan istilah kehendak semua sangatlah utopis.
Pandangan Schumpeter yang mengilhami pendekatan empirik-minimalis juga dikembangkan oleh teoretikus politik lain, misalnya Robert A. Dahl dan Larry Diamond. Dahl menyebut bahwa konsep “poliarkhi” (polyarchy) mendukung demokrasi karena memiliki ciri khas, yaitu sikap tanggap pemerintah terhadap preferensi dan keinginan warga negaranya. Untuk mewujudkan harapan tersebut, rakyat harus diberi kesempatan dalam proses:
1. merumuskan preferensi atau kepentingannya sendiri,
2. menginformasikan preferensinya itu kepada sesama warga negara dan juga pemerintah melalui tindakan personal maupun kolektif, dan
3. mengusahakan agar preferensinya itu dapat dipertimbangkan secara setara dalam proses pembuatan keputusan pemerintah.
Ketiga proses tersebut hanya akan terlaksana apabila didukung oleh kondisi-kondisi:
1. kebebasan untuk membentuk dan berpartisipasi dalam organisasi,
2. kebebasan berpendapat,
3. hak dalam pemilihan umum,
4. hak untuk menduduki jabatan publik,
5. hak para pemimpin dalam bersaing memperoleh dukungan suara rakyat,
6. terpenuhinya sumber-sumber informasi alternatif,
7. terselenggaranya pemilu yang jujur dan adil, dan
8. adanya lembaga-lembaga yang menjamin terlaksananya kebijakan publik yang sesuai dengan preferensi masyarakat.
Sementara itu, Diamond mengajukan istilah demokrasi elektoral sebagai pemahaman minimalis terhadap demokrasi. Menurutnya, konsep minimalis tentang demokrasi elektoral juga memerhatikan adanya kebebasan tertentu (berbicara, pers, organisasi, dan berserikat) agar kompetisi dan partisipasi dalam proses politik yang demokratis dapat berjalan dengan baik. Bagi Diamond, konsep Schumpeterian yang sudah umum itu beresiko menimbulkan “kekeliruan elektoralisme” karena lebih mengistimewakan pemilu di atas dimensi-dimensi lain, dan mengabaikan kemungkinan yang bisa timbul dalam pemilu multipartai. Untuk itulah, konsep demokrasi elektoral bersifat lebih luas karena bermaksud menghilangkan unsur-unsur yang bisa menimbulkan kerancuan. Tingkat kebebasan sipil digunakan sebagai alat ukur menentukan demokratis tidaknya suatu negara. Misalnya, rezim-rezim yang masih berisi kekuatan militer yang tidak terdapat pejabat terpilih, maka tidak lagi dikategorikan sebagai demokrasi elektoral.
Dengan demikian, demokrasi elektoral dapat disimpulkan sebagai sebuah sistem konstitusional yang menyelenggarakan pemilu multipartai yang kompetitif dan teratur dengan mengutamakan hak pilih dalam memilih anggota legislatif dan kepala eksekutif. Dalam pendekatan empirik-minimalis, demokrasi elektoral ini diperluas dengan mengembangkan gagasan demokrasi liberal.
Pada dasarnya, hubungan antara liberalisme dan demokrasi adalah hubungan antara liberty (kemerdekaan, kebebasan) dan equality (persamaan). Hubungan keduanya direpresentasikan dalam pengertian demokrasi liberal. Menurut Diamond, demokrasi membutuhkan prasyarat-prasyarat:
1. menolak kehadiran kekuasaan militer maupun aktor-aktor lain yang secara langsung maupun tidak langsung tidak memiliki akuntabilitas pada pemilih,
2. di samping itu, menghendaki akuntabilitas secara horisontal di antara pemegang jabatan, yang membatasi kekuasaan eksekutif dan juga melindungi konstitusionalisme, legalitas, dan proses pertimbangan, dan
3. demokrasi liberal mencakup ketentuan-ketentuan yang luas bagi pluralisme sipil dan politik, serta kebebasan individu dan kelompok. Kebebasan dan pluralisme hanya dapat dijamin melalui penegakan rule of law yang menjalankan hukum secara layak dan konsisten.
Penelitian tesis ini menggunakan pendekatan yang pertama (klasik-normatif) dalam membahas demokrasi dalam Islam dengan menjadikan isu-isu otoritas, syariah, dan kebebasan sebagai fokus bahasan. Sebagaimana dipaparkan di atas bahwa pembahasan tentang demokrasi dengan pendekatan klasik-normatif memasukkan dimensi-dimensi non-politik untuk memahami dan mengukur demokrasi. Dalam tesis ini, dimensi agama dan filosofis dimasukkan sebagai kerangka pemikiran dalam memahami dan mengukur persoalan demokrasi dalam Islam.
Dengan demikian, batasan pengertian demokrasi yang digunakan dalam pembahasan tesis ini adalah demokrasi sebagai kerangka atau konsep filosofis yang berupaya mewujudkan kehendak rakyat, belum masuk pada bagaimana prosedur-prosedur dab proses-proses yang akan berlangsung. Sebagaimana akan ditunjukkan dalam pembahasan tesis ini, pengertian demokrasi dalam pendekatan ini berhubungan erat dengan masalah kekuasaan (kepemimpinan), hukum, dan kebebasan yang melandasinya. Sedangkan masalah siapa yang berhak memimpin, siapa saja yang berhak berpartisipasi dalam demokrasi sebuah negara, dan masalah yang lainnya adalah wilayah pemikiran dalam pendekatan demokrasi empirik-minimalis.
b. Otoritas, Syariah, dan Kebebasan
Isu-isu otoritas, syariah, dan kebebasan dijadikan alat uji untuk mengukur sejauh mana kompatibilitas Islam dan demokrasi. Menggunakan ketiga alat uji tersebut, akan dilihat apakah terdapat hubungan antara pengertian dan cakupan istilah demokrasi di atas dengan pemahaman Islam yang berbicara tentang konsep politik.
Kata “otoritas” berasal dari bahasa Inggris (authority) yang memiliki arti yang berkuasa, ahli, dan sumber, sedangkan dalam bahasa Latinnya (auctor) berarti perencana, cikal bakal, pembina, dan pendiri. Kata ini secara umum diartikan sebagai “konsep yang mengacu pada individu atau kelompok yang dianggap memiliki pengetahuan sahih dan/atau kekuasaan legitim”. Istilah ini memiliki dua arti, yaitu
1. dalam arti positif: otoritas diterima karena keuntungan yang diperoleh, dari suatu sumber lainnya, dan
2. dalam arti negatif: otoritas dipandang sebagai penindas dan pelaku pengetahuan dan kekuasaan yang tidak sah.
Perdebatan yang sering mengemuka di antara para teoretisi tentang konsep otoritas adalah masalah tentang apakah kekuasaan (seperti agama dan tradisi) itu merupakan bagian dari suatu cakrawala yang sekarang nyaris lenyap dari dunia yang tengah diliputi krisis kekuasaan, atau kekuasaan itu justru telah mengubah semua bentuk perangkatnya, tapi masih tetap ada dalam bentuk yang modern, yakni tercipta dalam masyarakat industri maju yang rasional. Menurut April Carter, dua pandangan tersebut dipahami dengan dua pendekatan yang berbeda. Pandangan yang pertama didukung oleh para teoritisi sosiologi dan politik dengan mengalihkan perhatian pada tertib otokratis, yaitu kehidupan sosial yang dikendalikan oleh penghormatan terhadap hirarkhi, kebiasaan-kebiasaan, dan praduga-praduga yang tidak pernah direfleksikan. Sedangkan pandangan yang kedua didukung oleh Max Weber yang mengakui pentingnya tradisi sebagai sumber kekuasaan, tapi tetap berusaha mencari bentuk-bentuk kekuasaan alternatif yang disandarkan pada konsep negara birokrasi modern dan kehidupan yang menjunjung rasionalitas.
Hubungan otoritas dan demokrasi memunculkan pertanyaan tentang apakah otoritas itu diperlukan. Otoritas yang dimaksud adalah pengertian secara umum. Perlu tidaknya otoritas diukur menurut kapasitas dan tingkatan masyarakat. Masalah pengambilan keputusan secara langsung ataupun kolektif dalam sebuah masyarakat yang tingkatannya relatif kecil tidak diperlukannya otoritas karena prosesnya berjalan secara persuasif di mana masyarakat menganut nilai-nilai umum dan keyakinan yang sama (monolitik). Namun, semakin besar ukuran sebuah unit politik dan semakin kompleks kepentingan dan kepercayaan yang dianut, maka diperlukan adanya otoritas. Di sini otoritas dipahami sebagai terlembaganya nilai-nilai yang integratif dan representatif, sehingga dengan adanya majelis representatif di tingkat nasional mampu menyelaraskan berbagai kepentingan dan berdiri di tengah-tengah semua pandangan. Dengan demikian, otoritas dan demokrasi dapat dikompromikan.
Salah satu prinsip yang sangat diperhatikan dalam otoritas yang demokratis adalah konsep “kedaulatan rakyat”. Secara teoretis, konsep ini hanya akan eksis apabila rakyat benar-benar berkuasa, yaitu individu-individu yang memiliki kesamaan hak berpartisipasi dalam proses politik, dan didukung oleh tujuan pemerintahan yang menjamin kepentingan seluruh rakyat, bukan hanya orang-orang dari lapisan atas atau kelompok tertentu. Pandangan teoretis ini diproyeksikan dalam tindakan praktisnya, yaitu rezim-rezim politik yang mengakui menghargai kedaulatan rakyat harus berusaha mencapainya. Kedaulatan harus dinyatakan dengan tegas dalam bentuk pranata-pranata demokrasi.
Sebuah negara baru bisa dikatakan demokratis apabila kebebasan memang sudah dijunjung tinggi. Secara etimologis, kebebasan (freedom) berarti kualitas tidak adanya rintangan nasib, keharusan, atau keadaan di dalam keputusan atau tindakan seseorang. Sedangkan secara epistemologis, kebebasan pada umumnya adalah keadaan tidak dipaksa atau ditentukan oleh sesuatu di luar dirinya, kemampuan seseorang untuk berbuat atau tidak berbuat sesuai dengan kemauan dan pilihannya, dan kemampuan seseorang untuk memilih serta kesempatannya untuk memenuhi atau memperoleh pilihan itu.
Aristoteles menyebut bahwa landasan negara demokratis aalah kebebasan. Salah satu prinsip kebebasan adalah bahwa setiap orang secara bergantian mempunyai hak untuk memerintah dan diperintah dalam suatu komunitas politik. Franklin Delano Roosevelt, mantan presiden Amerika Serikat, menyebut ada empat kebebasan pokok manusia yang harus diperjuangkan dalam negara yang demokratis, yaitu
1. kebebasan berbicara dan berpendapat,
2. kebebasan bagi setiap orang untuk beribadat kepada Tuhan sesuai dengan caranya sendiri,
3. bebas dari kekurangan (ekonomi), dan
4. bebas dari rasa takut.
Di samping kebebasan, yang menjadi prinsip utama dalam konsep pemerintahan yang demokratis adalah ditegakkannya hukum sebagai pranata demokrasi. Hukum adalah suatu sistem norma-norma yang mengatur kehidupan dalam masyarakat (negara). Ada dua ciri khas yang terkandung dalam hukum. Pertama, adanya kepastian dalam pelaksanaannya, yaitu bahwa hukum itu secara resmi diperundangkan dilaksanakan secara pasti oleh negara. Kepastian hukum itu juga berarti bahwa setiap orang dapat menuntut agar hukum dilaksanakan dan tuntutan tersebut pasti dipenuhi, dan setiap pelanggaran terhadap hukum akan ditindak dan dikenai sanksi. Kedua, adanya dimensi keadilan yang terkandung di dalam hukum. Tuntutan keadilan mempunyai dua arti, yaitu bahwa hukum berlaku umum, dan hukum dituntut agar sesuai dengan cita-cita keadilan dalam masyarakat.
Pembahasan tesis ini mengaitkan isu syariah, sebagai padanan istilah hukum dalam Islam, dengan demokrasi. Secara umum, syariah dipahami sebagai segala yang diturunkan Allah SWT kepada Nabi Muhammad berbentuk wahyu yang terdapat dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Kata syariah, arti semulanya adalah “jalan menuju air”, yang maksudnya jalan ke arah sumber pokok kehidupan. Pengertian syariah sering disamakan dengan pengertian fikih, padahal keduanya berbeda. Syariah masih bersifat suci dan ilahi, sedangkan fikih sudah bersifat rekayasa manusia karena menyertakan interpretasi. Imam Syafi’i mendefinisikan fikih sebagai ilmu tentang hukum-hukum syariah yang bersifat amaliyah yang diperoleh dari satu-persatu dalilnya. Jadi, fikih sesungguhnya adalah apa yang dipahami manusia terhadap teks-teks suci al-Qur’an dan sunnah dengan melakukan ijtihad untuk menangkap makna-manka, illat-illat (sebab), dan tujuan yang hendak dicapai oleh teks suci tersebut.
Isu syariah dijadikan perjuangan sejumlah kelompok Islam dalam menyerukan pentingnya menegakkan hukum Islam dalam negara modern. Secara praktis, terdapat sejumlah negara Muslim yang menjadikan syariah sebagai dasar konstitusi kenegaraan. Pengertian syariah yang dimaksud adalah definisi yang pertama, yaitu wahyu ilahi dengan dasar Al-Qur’an dan Sunnah. Pemahaman yang seharusnya dikedepankan dalam persoalan politik adalah definisi fikih, bukan syariah. Dengan konsep fikih, maka terbukanya ragam interpretasi terhadap hukum agama yang akan diterapkan dalam konstitusi negara. Dengan demikian, kaitannya dengan demokrasi akan coba dibahas dalam penelitian tesis ini.
E. Metode Penelitian
Penelitian kepustakaan ini menggunakan pendekatan analitis-interpretatif dan juga melakukan kajian perbandingan pemikiran Al-Jabiri dan Soroush tentang demokrasi dalam Islam. Untuk menganalisis pemikiran Al-Jabiri dan Soroush tentang demokrasi dalam Islam, saya akan meneliti dengan asumsi dasar bahwa sesungguhnya Islam sesuai (kompatibel) dengan demokrasi. Untuk membuktikan asumsi ini, saya memosisikan isu-isu otoritas, syariah, dan kebebasan sebagai indikator-indikator yang menguji apakah Islam memang dapat sesuai dengan demokrasi. Bila konsep otoritas dapat mengakui kedaulatan rakyat (manusia), syariah yang dipahami pada aspek kemaslahatannya, dan kebebasan yang sangat diakui dalam Islam, maka dengan demikian Islam itu dapat dikatakan kompatibel dengan demokrasi.
Studi ini berdasarkan pada penelitian kepustakaan (library research) yang data-datanya diperoleh melalui pelacakan sumber-sumber primer maupun sekunder. Sumber-sumber primernya terdiri dari karya-karya yang ditulis Al-Jabiri dan Soroush, sedangkan sumber-sumber sekundernya adalah publikasi-publikasi ilmiah yang ditulis intelektual-intelektual Muslim, baik tentang pemikiran al-Jabiri dan Soroush maupun yang berkenaan dengan isu-isu demokrasi dalam Islam.
Namun dalam proses pelacakan sumber, saya menghadapi kesulitan dalam menggunakan sumber primer Soroush disebabkan karena tulisan-tulisannya banyak yang ditulis dalam bahasa Persia (Iran), sedangkan dua tulisan Soroush berbahasa Inggris yang dijadikan acuan dalam tesis ini adalah buku Reason, Freedom, and Democracy in Islam (2000) dan sebuah artikel dalam buku Charles Kurzman Liberal Islam (1998). Dengan keterbatasan seperti itu, saya agak kesulitan untuk memosisikan Al-Jabiri dan Soroush agar seimbang dalam cakupan kajiannya. Namun demikian, perbandingan pemikiran antar keduanya bisa dilakukan.
F. Sistematika Pembahasan
Untuk menjawab masalah-masalah dalam penelitian ini, maka tesis ini dibagi ke dalam lima bab. Bab pertama menjelaskan tentang latar belakang tesis ini, yang kemudian diikuti dengan formulasi masalah, signifikansi studi, kerangka teori, metode penelitian, dan sistematika pembahasan.
Bab kedua membahas tentang biografi dan peta pemikiran. Bagian pertama memberikan bahasan tentang biografi singkat dan karya-karya Al-Jabiri dan Soroush Sedangkan bagian kedua memaparkan epistemologi pemikiran kedua tokoh tersebut yang terbagi atas kritik nalar Arab dan teori interpretasi agama.
Bab ketiga membahas tentang hubungan Islam dan demokrasi. Bagian pertama menganalisis tentang bagaimana sejarah pertemuan umat Islam dengan konsep demokrasi. Bagian kedua menganalisis respon intelektual muslim dan barat tentang demokrasi dalam Islam, termasuk di dalamnya melakukan pemetaan tentang respon intelektual muslim. Sementara itu, bagian ketiga menganalisa perbandingan pendekatan Al-Jabiri dan Soroush dalam memahami hubungan Islam dan demokrasi, yang terbagi atas demokrasi dan syura, serta pembahasan tentang pemerintahan demokrasi agama.
Bab keempat mengkaji perbandingan pemikiran Al-Jabiri dan Soroush tentang isu-isu demokrasi dalam Islam. Bagian pertama mengulas tentang isu otoritas yang membicarakan tentang masalah kedaulatan Tuhan dan kedaulatan rakyat, juga masalah penentuan dan pembatasan khalifah. Bagian kedua mengulas tentang isu syariah, yang terdiri atas: pemahaman syariah dan penerapannya. Sementara itu, bagian ketiga adalah tentang isu kebebasan, yang membahas bagaimana pandangan Al-Jabiri dan Soroush tentang Islam dan kebebasan, termasuk di dalamnya perihal kebebasan beragama. Bab terakhir dalam tesis ini adalah kesimpulan.
DEMOKRASI DALAM ISLAM:
STUDI PERBANDINGAN PEMIKIRAN MUHAMMAD ABID AL-JABIRI DAN ABDOLKARIM SOROUSH
A. Latar Belakang Masalah
Wacana tentang hubungan Islam dan demokrasi telah lama menjadi perdebatan yang hangat di dunia Islam. Sejak dasawarsa 1980-an, demokrasi menjadi trend pemikiran yang banyak dikaji oleh para penulis tentang politik dunia. Salah satu isu yang akhir-akhir ini banyak dikaji adalah masalah demokrasi di dunia Islam. Banyak kajian mutakhir tentang hubungan Islam dan demokrasi, seperti yang dilakukan oleh Samuel P. Huntington dan Francis Fukuyama, memberikan penilaian yang negatif bahwa Islam tidak sesuai dengan demokrasi. Pandangan mereka semacam itu didasarkan pada sejumlah ajaran Islam (doktrin) dan praktek kehidupan politik umat Islam yang dianggap cenderung berseberangan dengan demokrasi.
Namun, juga terdapat sejumlah penulis Barat lain menilai positif, misalnya John L. Esposito dan John O. Voll yang memandang bahwa di berbagai wilayah di dunia, gerakan-gerakan kebangkitan agama dapat berjalan seiring dan terkadang justru memperkuat pembentukan sistem politik yang demokratis. Tentang fenomena yang terjadi di dunia Islam, mereka berpendapat bahwa isu-isu itu muncul ke permukaan disebabkan adanya kebangkitan Islam dan menguatnya tuntutan partisipasi rakyat yang lebih besar dalam proses politik. Mereka mencontohkan bangkitnya Revolusi Islam Iran Tahun 1979 dan pembentukan Front Keselamatan Islam (FIS) di Aljazair pada awal 1990-an sebagai bentuk kebangkitan Islam yang menuntut proses-proses politik yang demokratis. Pandangan mereka didasarkan pada praktek kehidupan politik umat Islam.
Pertanyaan atas keterkaitan Islam dan demokrasi kembali mencuat ketika Islam dihadapkan oleh persoalan-persoalan aktual dalam tantangan modernitas, termasuk produk pemikiran Barat. Ketika tradisi diperhadapkan pada modernitas, muncul tiga kecenderungan orientasi keberagamaan, yaitu liberalisme (sekularisme), konservatisme, dan moderatisme. Kecenderungan yang pertama menerima begitu saja modernitas sebagai konsekuensi perubahan zaman dan lebih mengutamakan konsep politik model Barat beserta lembaga-lembaganya. Kecenderungan yang kedua lebih mengukuhkan tradisi sebagai satu-satunya solusi yang dianggap mampu mengatasi berbagai masalah dan memandang bahwa agama sepatutnya menentukan watak organisasi politik, serta memosisikan hukum Islam (syariah) sebagai pengatur kehidupan masyarakat. Sementara itu, kecenderungan yang ketiga berada di tengah-tengah, antara sikap tetap menjaga tradisi dan juga mau menerima pemikiran-pemikiran modern (Barat).
Apakah Islam compatible dengan demokrasi? Untuk menjawab hal ini diperlukan kajian mendalam terhadap tradisi Islam yang membincangkan demokrasi. Esposito dan Voll, menegaskan bahwa Islam sesungguhnya memiliki seperangkat simbol dan konsep yang menumbuhkan kebebasan (freedom) dan persamaan (equality) sebagai prinsip-prinsip dalam demokrasi. Mereka juga menegaskan bahwa sangat penting meneliti sumber-sumber konseptual di dalam tradisi Islam yang membincangkan demokrasi. Pernyataan mereka di atas didasarkan pada doktrin Islam yang membahas tentang demokrasi.
Kajian tentang demokrasi yang terkait dengan tradisi agama dilakukan oleh banyak intelektual muslim kenamaan, di antaranya, dua yang dipilih dalam studi ini, Muhammad Abid al-Jabiri dan Abdolkarim Soroush. Al-Jabiri adalah intelektual Muslim asal Maroko yang dikenal dengan mega proyek “Kritik Nalar Arab” (Naqd ‘Aql al-‘Arabi), sedangkan Soroush adalah intelektual muslim asal Iran yang dikenal sangat gigih menyerukan pentingnya membangun rasionalitas berpikir, kebebasan, dan demokrasi di dunia Islam.
Tesis ini mengambil pemikiran Muhammad Abid al-Jabiri dan Abdolkarim Soroush sebagai bahan reflektif sekaligus perbandingan dalam mengkaji demokrasi dalam Islam. Kedua tokoh yang masih hidup tersebut dipilih oleh karena representasi keduanya sebagai intelektual muslim dari wilayah Arab dan non Arab. Al-Jabiri mewakili wilayah yang pertama, sedangkan Soroush mewakili yang kedua.
Dunia Islam kini sedang mengalami suasana pertikaian yang beragam, yaitu pertikaian antar pendukung kelompok elite politik. Kelompok elite yang berkuasa berupaya mengembangkan pengaruhnya dengan membentuk lembaga-lembaga yang mampu meningkatkan keunggulan, pengalaman, dan ambisinya yang memuaskan. Kondisi inilah yang menyebabkan perlunya para intelektual muslim untuk merumuskan konsepsi yang mendalam tentang demokrasi dalam Islam.
Al-Jabiri menegaskan bahwa demokrasi adalah suatu keniscayaan sejarah yang sangat dibutuhkan masyarakat Arab saat ini. Penegasan ini didasarkan pada kenyataan tidak adanya demokrasi dan civil society di seluruh negara Arab, ditambah tidak adanya negara institusional yang keberadaan dan pengaturannya didasarkan pada institusi-insitusi independen yang dimiliki negara itu sendiri. Demikian halnya, Soroush juga memandang pentingnya demokrasi di dunia muslim. Salah satu prinsip dalam demokrasi adalah tuntutan untuk menciptakan keadilan struktural, yaitu keadilan yang berhubungan dengan konstruksi sosial dan kekuasaan negara. Menurutnya, keadilan adalah warisan tradisi Islam yang sering dilupakan untuk menciptakan tatanan politik yang lebih baik.
Di antara isu-isu yang sering diperdebatkan dalam membincangkan kompatibilitas Islam dan demokrasi adalah isu tentang konsep otoritas, syariah, dan kebebasan dalam Islam. Tesis ini menjadikan isu-isu tersebut untuk menguji sejauhmana kompatibilitas Islam dan demokrasi. Pemilihan ketiga isu tersebut didasarkan pada tiga alasan.
Pertama, persoalan otoritas dalam praktek sejarah Islam sering dipahami sebagai penyatuan antara agama dan politik, dimana sang khalifah dianggap merepresentasikan kedaulatan Tuhan di muka bumi. Realitas ini menunjukkan adanya suatu permasalahan yang harus dipecahkan karena hal ini bertentangan dengan konsep demokrasi yang lebih mengukuhkan kedaulatan rakyat (manusia). Sehingga, Eickelman dan Piscatori yang menjadikan isu otoritas sebagai salah satu bahasan penting tentang politik Islam, merasa perlu untuk memberikan pengertian lain atas otoritas sebagai dua wilayah (agama dan politik) yang bisa dipisahkan, saling berkait, dan tumpang tindih sesuai konteks. Pengertian ini bisa dipahami lebih dekat dengan makna demokrasi, dengan merujuk pendapat sejumlah intelektual Muslim yang berhaluan “liberal”.
Kedua, syariah memiliki peran yang sangat sentral dalam sebuah pemerintahan yang bercorak “negara Islam”. Karakteristik utama sebuah pemerintahan Islam yang sah adalah bahwa semua tunduk kepada dan dibatasi oleh hukum syariah. Ketika syariah dijadikan dasar hukum negara, maka persoalannya terletak pada penunggalan pemahaman tentang syariah itu sendiri. Padahal, syariah yang sempurna hanya ada di tangan Tuhan. Ketika sudah diwahyukan, syariah sangat mengandalkan upaya interpretasi manusia, yang pada akhirnya bersifat tidak sempurna dan memunculkan beragam penafsiran terhadap makna-maknanya. Pemahaman yang terakhir lebih dekat dengan makna demokrasi karena mengandung pengertian bahwa keragaman tafsir atas syariah akan membuka ruang pluralitas dan toleransi yang merupakan bagian dari prinsip demokrasi itu sendiri. Abou El Fadl memasukkan isu syariah dan negara demokratis sebagai salah satu bahasan penting tentang Islam dan tantangan demokrasi. Menurutnya, penerapan syariah dalam negara demokratis merupakan sebuah paradoks karena semua hukum yang dijelaskan dan diterapkan dalam sebuah negara adalah hukum manusia, sehingga hukum agama tidak bisa diterapkan di dalamnya.
Ketiga, prinsip kebebasan merupakan nilai yang terkandung dalam demokrasi, di samping prinsip persamaan dan toleransi. Norman P. Barry menegaskan bahwa pemerintahan yang demokratis harus memberikan kebebasan rakyat yang sungguh-sungguh untuk berkumpul, mengomunikasikan ide-idenya, termasuk untuk bersikap berbeda dengan pemerintah. Untuk melihat demokrasi dalam Islam, isu kebebasan perlu dibahas. Berdasarkan tiga alasan di atas, tesis ini berusaha mengkaji isu-isu tersebut untuk menguji sejauh mana kompatibilitas Islam dan demokrasi. Penelitian dalam tesis ini diharapkan memperoleh sebuah konstruksi pemikiran tentang demokrasi Islam yang bisa diterima di dunia Islam.
B. Identifikasi Masalah
Konsep demokrasi diterima oleh hampir semua pemerintahan di dunia, bahkan pemerintahan yang otoriter juga menggunakan atribut “demokrasi” sebagai ciri pemerintahannya. Dunia modern saat ini seakan dihantui oleh munculnya proyek demokratisasi yang dilakukan negara-negara maju kepada negara-negara berkembang, termasuk di dalamnya dunia Islam. Dalam beberapa kasus konflik di Timur Tengah, pengaruh negara-negara Barat (terutama AS dan sekutunya) terhadap kondisi internal negara-negara muslim menjadikan isu demokrasi sebagai dalih intervensi penyelesaian masalah. Sebagai contoh adalah konflik di Irak pasca agresi militer AS dan sekutunya yang pada kenyataannya menyisakan masalah-masalah baru.
Isu-isu yang terkandung dalam demokrasi menimbulkan perdebatan di kalangan umat Islam tentang apresiasi dan kritik terhadap konsep ini. Pandangan umat Islam beragam, ada yang memandang demokrasi itu sesuai (kompatibel) dengan Islam, namun tidak sedikit pula yang menolak konsep ini bisa diterapkan dalam pemerintahan yang Islami. Isu-isu yang kerap menjadi pusat kontroversi dalam tubuh umat Islam dan dijadikan bahasan dalam tesis ini adalah isu seputar otoritas, syariah, dan kebebasan.
Kontroversi-kontroversi yang dimaksud di antaranya adalah isu penegakan khilafah Islamiyyah, isu penerapan syariah Islam, dan sikap sejumlah kelompok Islam fundamentalis yang mengekang kebebasan beragama kelompok lain. Isu yang pertama sering disuarakan oleh kelompok ………….. (…………..), isu yang kedua sering disuarakan kelompok ………….. (…………..), dan sikap yang ketiga pernah ditunjukkan kelompok ………….. (…………..) dan ………….. (…………..) dengan melakukan tindakan kekerasan dan intimidasi untuk mengusir acara ………….. (…………..) di Parung Bogor (Juli 2005).
Isu khilafah Islamiyyah merupakan kontroversi seputar otoritas karena berupaya membentuk sebuah pemerintahan Islam federal yang dianggap lebih mencerminkan kedaulatan Tuhan di muka bumi, di mana hak-hak-Nya diejawantahkan oleh sang khalifah. Isu penerapan syariah Islam secara formal dalam sebuah negara memunculkan masalah demokrasi karena maksud seperti ini menunjukkan adanya penunggalan pemahaman, padahal seharusnya syariah itu dipahami secara beragam dan kontekstual. Re-interpretasi terhadap syariah akan membuka ruang pencapaian tujuan kemaslahatan, termasuk di dalamnya demokrasi. Sementara itu, kasus yang menimpa Ahmadiyah membuka pertanyaan tentang kebebasan beragama. Padahal Islam menjamin kebebasan bagi setiap manusia (sebagaimana akan ditunjukkan pada pembahasan bab empat).
Masalah-masalah dalam penelitian ini adalah:
A. Bagaimana hubungan antara Islam dan demokrasi menurut Al-Jabiri dan Soroush?
B. Sejauh mana kompatibilitas Islam dan demokrasi menurut Al-Jabiri dan Soroush, dengan mengukur isu-isu otoritas, syariah, dan kebebasan sebagai alat uji?
C. Signifikansi Studi
Penelitian tentang demokrasi dalam Islam kini mendapat relevansi dan signifikansinya semenjak isu radikalisme mengemuka di dunia Islam. Radikalisme dan terorisme sering diasumsikan muncul sebagai konsekuensi atas kebijakan-kebijakan politis di negara-negara muslim yang otoriter dan tidak demokratis. Kajian tentang Islam dan demokrasi masih menarik untuk diangkat. Beberapa isu yang menjadi perdebatan internal umat Islam di sejumlah negara-negara Islam adalah seputar masalah otoritas kekuasaan, syariah, dan kebebasan.
Penelitian ini memiliki beberapa tujuan. Pertama, mengkaji konsep demokrasi dengan rujukan tradisi pemikiran Islam, di antaranya bagaimana respon intelektual Muslim terhadap hubungan Islam dan demokrasi, termasuk bagaimana pandangan Al-Jabiri dan Soroush tentang kompatibilitas keduanya. Kedua, melakukan kajian perbandingan pemikiran Al-Jabiri dan Soroush tentang beberapa isu-isu kontroversial yang mewarnai kajian demokrasi dalam Islam, seperti isu syariah, otoritas, dan kebebasan.
D. Kerangka Teori
Sebelum kerangka teori membahas tentang pengertian dan pendekatan demokrasi, perlu dijelaskan terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan politik Islam sebagai wilayah kajian ini. Secara teoritis, pengertian “politik” (politics) mempunyai arti aneka ragam kegiatan dalam suatu sistem masyarakat yang terorganisasikan (terutama negara) yang menyangkut pengambilan keputusan, baik mengenai tujuan-tujuan sistem itu sendiri maupun pelaksanaannya. Dengan demikian, pengertian “politik Islam” diartikan sebagai salah satu arena pemikiran Islam yang membahas tentang bagaimana cara berpikir dan cara bertindak umat Islam dalam kehidupan praktek politiknya.
a. Pengertian dan Pendekatan Demokrasi
Istilah demokrasi berasal dari kata Yunani, yaitu demos yang berarti rakyat dan kratos yang berarti pemerintahan “dari rakyat untuk rakyat”. Secara konseptual, demokrasi mempunyai arti sebagai ideologi yang ditata dengan memadukan nilai-nilai liberal, pemerintahan berdasarkan hukum, dan berdasarkan sistem pemilihan umum yang bebas. Prinsip-prinsip yang menjadi dasar dalam ide demokrasi adalah konstitusionalisme, kedaulatan rakyat, aparat yang bertanggung jawab, jaminan kewajiban sipil, pemerintahan berdasarkan undang-undang, dan asas mayoritas.
Demokrasi juga bisa diartikan sebagai suatu bentuk politik di mana rakyat sendiri yang memiliki dan menjalankan seluruh kekuatan politik, dengan tujuan untuk menentang pemerintah oleh satu orang (monarkhi) atau kelompok yang memiliki hak-hak istimewa (aristokrasi), dan bentuk-bentuk pemerintahan yang jelek dari kedua jenis pemerintahan ini (tirani dan oligarkhi).
Di samping pengertian di atas, juga terdapat beberapa definisi tentang demokrasi. Joseph A. Schumpeter mendefinisikan metode demokratis sebagai “suatu perencanaan institusional untuk mencapai keputusan politik di mana individu-individu memperoleh kekuasaan untuk memutuskan dengan cara perjuangan kompetitif atas suara rakyat”. Philippe C. Schmitter dan Terry Lynn Karl mendefinisikan demokrasi politik modern sebagai “suatu sistem pemerintahan di mana pemerintah mempertanggung jawabkan tindakannya kepada warga negara, bertindak secara langsung melalui kompetisi dan kerjasama dengan para wakil rakyat”. Sementara itu, Robert A. Dahl mendefinisikan demokrasi sebagai istilah yang berfungsi dalam memberikan kesempatan untuk:
1. partisipasi secara efektif,
2. setara dalam hak suara, di mana setiap orang harus mempunyai kesempatan yang sama dan efektif untuk memberikan suara,
3. mencapai pemahaman yang baik dan cerah, di mana setiap orang mempunyai kesempatan yang sama dan efektif untuk mempelajari kebijakan-kebijakan alternatif,
4. menjalankan kontrol akhir terhadap agenda, dan
5. melibatkan orang dewasa.
Berdasarkan definisi-definisi tersebut, demokrasi mengandung beberapa unsur penting, yaitu kekuasaan mayoritas, suara rakyat, pemilihan yang bebas dan bertanggung jawab. Pada masa kontemporer ini, penggunaan istilah demokrasi lebih bersifat pragmatis ketimbang filosofis, hal itu bisa dilihat pada karakteristik unsur-unsur dalam demokrasi. Sementara itu, pada masa pencerahan, demokrasi awal mulanya dipahami secara filosofis, yaitu ide tentang kedaulatan rakyat yang berlawanan dengan kedaulatan Tuhan (teokrasi) dan kedaulatan monarki (kerajaan).
Pemahaman demokrasi pada masa lalu tersebut tercermin dari Piagam Magna Carta yang ditulis oleh Raja John di Inggris (15 Juni 1215), yang memberikan dua pesan penting, yaitu bahwa kekuasaan pemerintah terbatas dan hak asasi manusia lebih penting daripada kedaulatan raja. Raja John menegaskan bahwa tidak ada orang yang bebas dari penegakan hukum, sehingga keadilan dapat dirasakan secara langsung oleh masing-masing individu (rakyat).
Pada dasarnya, tesis ini lebih memfokuskan pembahasan tentang Islam dan demokrasi dari sudut pandang filosofis, yang secara lebih mendalam mengangkat isu-isu otoritas, syariah, dan kebebasan sebagai alat uji terhadap kompatibilitas keduanya. Pandangan Al-Jabiri dan Soroush yang akan dibahas di akhir bab ini merupakan perdebatan wacana filosofis seputar masalah Islam dan demokrasi.
Sesudah perang dunia II, secara formil demokrasi telah menjadi dasar bagi kebanyakan negara-negara di dunia. Penelitian ………….. pada tahun 1949 menunjukkan bahwa mungkin untuk pertama kalinya dalam sejarah demokrasi dinyatakan sebagai nama yang paling baik dan wajar untuk semua sistem organisasi politik dan sosial yang diperjuangkan oleh pendukung-pendukung yang berpengaruh.
Penelitian tersebut menunjukkan bahwa demokrasi merupakan sistem politik yang terbaik dan terbukti banyak digunakan oleh negara-negara di dunia, beberapa di antaranya mendapatkan keuntungan yang diperoleh dengan menerapkan sistem ini. Dahl menyebut sedikitnya delapan keuntungan yang dapat dimanfaatkan dalam sistem politik yang demokratis, yaitu:
1. demokrasi menolong dalam mencegah timbulnya pemerintahan oleh kaum otokrat yang kejam dan licik,
2. demokrasi menjamin bagi warga negaranya sejumlah hak asasi yang tidak diberikan oleh sistem-sistem yang tidak demokratis,
3. demokrasi menjamin kebebasan pribadi yang lebih luas kepada warga negaranya,
4. demokrasi membantu orang-orang untuk melindungi kepentingan pokok mereka,
5. hanya pemerintahan yang demokratis yang dapat memberikan kesempatan sebesar-besarnya bagi orang-orang untuk menggunakan kebebasan dalam menentukan nasibnya sendiri, yaitu untuk hidup di bawah hukum yang mereka pilih sendiri,
6. hanya pemerintahan yang demokratis yang dapat memberikan kesempatan sebesar-besarnya untuk menjalankan tanggung jawab moral,
7. demokrasi membantu perkembangan manusia lebih total dari alternatif lain yang memungkinkan, dan
8. hanya pemerintahan yang demokratis yang dapat membantu perkembangan kadar persamaan politik yang relatif tinggi.
Dahl juga mengemukakan ada tujuh indikator yang harus ada dalam sistem yang demokratis:
1. kontrol atas keputusan pemerintah mengenai kebijakan secara konstitusional diberikan untuk para pejabat yang dipilih,
2. para pejabat dipilih melalui proses pemilihan yang teliti, jujur, dan tanpa paksaan,
3. semua orang dewasa mempunyai hak untuk memilih,
4. semua orang dewasa mempunyai hak untuk mencalonkan diri pada jabatan-jabatan di pemerintahan,
5. rakyat mempunyai hak untuk menyuarakan pendapat tanpa ancaman hukuman yang berat (subversif),
6. rakyat mempunyai hak untuk mendapatkan sumber-sumber informasi alternatif, dan
7. rakyat mempunyai hak untuk membentuk lembaga-lembaga atau organisasi-organisasi yang relatif independen, termasuk berbagai partai politik dan kelompok kepentingan yang independen.
Teoretisasi terhadap demokrasi melahirkan dua pendekatan yang sering digunakan dalam mengkaji konsep ini, yaitu pendekatan klasik-normatif dan pendekatan empirik-minimalis. Pendekatan klasik-normatif memahami demokrasi sebagai sumber wewenang dan tujuan (tentang bagaimana demokrasi itu seharusnya), sedangkan pendekatan empirik-minimalis lebih menekankan pada sistem politik yang dibangun (deskripsi tentang apa demokrasi itu sekarang).
Pendekatan klasik-normatif banyak dipengaruhi oleh garis pemikiran klasik dari zaman Yunani kuno, abad pertengahan, hingga pada pemikiran sosialisme Karl Marx. Pendekatan ini memaknai dan mengukur demokrasi secara maksimalis dengan memasukkan dimensi-dimensi non-politik (sosial, ekonomi, dan budaya). Sebagai contoh, misalnya, konsep kebebasan tidak saja dimaknai sebagai sebagai kebebasan politik saja, tetapi pemaknaannya lebih luas, yaitu mencakup kebebasan sosial-ekonomi (bebas dari ketidakadilan, kemiskinan, kebodohan, keterbelakangan, dan sebagainya). Di samping itu, pendekatan ini sangat memerhatikan elemen konstitusi dan gagasan rule of law (konstitusionalisme) untuk mengatur prosedur kelembagaan, hak dan kewajiban rakyat, serta untuk membatasi kekuasaan. Konstitusionalisme adalah sebuah gagasan kontraktual antara penguasa (negara) dan rakyat (masyarakat). Gagasan ini lahir melalui dua ide utama, yaitu
1. konstitusionalisme mencakup pembatasan kekuasaan dengan doktrin Trias Politica, sehingga kekuasaan dibatasi dengan hukum dasar, dan penguasa tunduk terhadap kedaulatan rakyat,
2. konstitusionalisme mencakup pemberian jaminan hak-hak sipil dan politik bagi warga negaranya. Warga negara harus diberi jaminan kebebasan untuk berbicara, berkumpul, berserikat, memperoleh penghidupann yang layak, keadilan, dan sebagainya.
Pendekatan empirik-minimalis banyak dipengaruhi oleh gagasan Joseph Schumpeter yang memandang demokrasi sebagai metode politik. Menurutnya, demokrasi adalah pengaturan kelembagaan untuk mencapai keputusan-keputusan politik, di mana individu-individu dapat memperoleh kekuasaan dengan perjuangan dalam memperebutkan suara rakyat pemilih, kemudian membuat keputusan melalui perjuangan dalam memperoleh suara rakyat. Dengan demikian, kehendak rakyat bukanlah penggerak demokrasi sebagaimana dipahami dalam pendekatan klasik-normatif, melainkan adalah hasil proses politik. Dalam pemahaman Schumpeterian, dunia modern yang kompleks ini akan dapat diatasi apabila negara yang berdaulat dipisahkan dengan rakyat yang berdaulat, dengan penegasan bahwa peran yang terakhir dibatasi seminimal mungkin. Maksudnya, istilah yang tepat digunakan adalah kehendak mayoritas dalam hukum dan kebijakan politik, sebab penggunaan istilah kehendak semua sangatlah utopis.
Pandangan Schumpeter yang mengilhami pendekatan empirik-minimalis juga dikembangkan oleh teoretikus politik lain, misalnya Robert A. Dahl dan Larry Diamond. Dahl menyebut bahwa konsep “poliarkhi” (polyarchy) mendukung demokrasi karena memiliki ciri khas, yaitu sikap tanggap pemerintah terhadap preferensi dan keinginan warga negaranya. Untuk mewujudkan harapan tersebut, rakyat harus diberi kesempatan dalam proses:
1. merumuskan preferensi atau kepentingannya sendiri,
2. menginformasikan preferensinya itu kepada sesama warga negara dan juga pemerintah melalui tindakan personal maupun kolektif, dan
3. mengusahakan agar preferensinya itu dapat dipertimbangkan secara setara dalam proses pembuatan keputusan pemerintah.
Ketiga proses tersebut hanya akan terlaksana apabila didukung oleh kondisi-kondisi:
1. kebebasan untuk membentuk dan berpartisipasi dalam organisasi,
2. kebebasan berpendapat,
3. hak dalam pemilihan umum,
4. hak untuk menduduki jabatan publik,
5. hak para pemimpin dalam bersaing memperoleh dukungan suara rakyat,
6. terpenuhinya sumber-sumber informasi alternatif,
7. terselenggaranya pemilu yang jujur dan adil, dan
8. adanya lembaga-lembaga yang menjamin terlaksananya kebijakan publik yang sesuai dengan preferensi masyarakat.
Sementara itu, Diamond mengajukan istilah demokrasi elektoral sebagai pemahaman minimalis terhadap demokrasi. Menurutnya, konsep minimalis tentang demokrasi elektoral juga memerhatikan adanya kebebasan tertentu (berbicara, pers, organisasi, dan berserikat) agar kompetisi dan partisipasi dalam proses politik yang demokratis dapat berjalan dengan baik. Bagi Diamond, konsep Schumpeterian yang sudah umum itu beresiko menimbulkan “kekeliruan elektoralisme” karena lebih mengistimewakan pemilu di atas dimensi-dimensi lain, dan mengabaikan kemungkinan yang bisa timbul dalam pemilu multipartai. Untuk itulah, konsep demokrasi elektoral bersifat lebih luas karena bermaksud menghilangkan unsur-unsur yang bisa menimbulkan kerancuan. Tingkat kebebasan sipil digunakan sebagai alat ukur menentukan demokratis tidaknya suatu negara. Misalnya, rezim-rezim yang masih berisi kekuatan militer yang tidak terdapat pejabat terpilih, maka tidak lagi dikategorikan sebagai demokrasi elektoral.
Dengan demikian, demokrasi elektoral dapat disimpulkan sebagai sebuah sistem konstitusional yang menyelenggarakan pemilu multipartai yang kompetitif dan teratur dengan mengutamakan hak pilih dalam memilih anggota legislatif dan kepala eksekutif. Dalam pendekatan empirik-minimalis, demokrasi elektoral ini diperluas dengan mengembangkan gagasan demokrasi liberal.
Pada dasarnya, hubungan antara liberalisme dan demokrasi adalah hubungan antara liberty (kemerdekaan, kebebasan) dan equality (persamaan). Hubungan keduanya direpresentasikan dalam pengertian demokrasi liberal. Menurut Diamond, demokrasi membutuhkan prasyarat-prasyarat:
1. menolak kehadiran kekuasaan militer maupun aktor-aktor lain yang secara langsung maupun tidak langsung tidak memiliki akuntabilitas pada pemilih,
2. di samping itu, menghendaki akuntabilitas secara horisontal di antara pemegang jabatan, yang membatasi kekuasaan eksekutif dan juga melindungi konstitusionalisme, legalitas, dan proses pertimbangan, dan
3. demokrasi liberal mencakup ketentuan-ketentuan yang luas bagi pluralisme sipil dan politik, serta kebebasan individu dan kelompok. Kebebasan dan pluralisme hanya dapat dijamin melalui penegakan rule of law yang menjalankan hukum secara layak dan konsisten.
Penelitian tesis ini menggunakan pendekatan yang pertama (klasik-normatif) dalam membahas demokrasi dalam Islam dengan menjadikan isu-isu otoritas, syariah, dan kebebasan sebagai fokus bahasan. Sebagaimana dipaparkan di atas bahwa pembahasan tentang demokrasi dengan pendekatan klasik-normatif memasukkan dimensi-dimensi non-politik untuk memahami dan mengukur demokrasi. Dalam tesis ini, dimensi agama dan filosofis dimasukkan sebagai kerangka pemikiran dalam memahami dan mengukur persoalan demokrasi dalam Islam.
Dengan demikian, batasan pengertian demokrasi yang digunakan dalam pembahasan tesis ini adalah demokrasi sebagai kerangka atau konsep filosofis yang berupaya mewujudkan kehendak rakyat, belum masuk pada bagaimana prosedur-prosedur dab proses-proses yang akan berlangsung. Sebagaimana akan ditunjukkan dalam pembahasan tesis ini, pengertian demokrasi dalam pendekatan ini berhubungan erat dengan masalah kekuasaan (kepemimpinan), hukum, dan kebebasan yang melandasinya. Sedangkan masalah siapa yang berhak memimpin, siapa saja yang berhak berpartisipasi dalam demokrasi sebuah negara, dan masalah yang lainnya adalah wilayah pemikiran dalam pendekatan demokrasi empirik-minimalis.
b. Otoritas, Syariah, dan Kebebasan
Isu-isu otoritas, syariah, dan kebebasan dijadikan alat uji untuk mengukur sejauh mana kompatibilitas Islam dan demokrasi. Menggunakan ketiga alat uji tersebut, akan dilihat apakah terdapat hubungan antara pengertian dan cakupan istilah demokrasi di atas dengan pemahaman Islam yang berbicara tentang konsep politik.
Kata “otoritas” berasal dari bahasa Inggris (authority) yang memiliki arti yang berkuasa, ahli, dan sumber, sedangkan dalam bahasa Latinnya (auctor) berarti perencana, cikal bakal, pembina, dan pendiri. Kata ini secara umum diartikan sebagai “konsep yang mengacu pada individu atau kelompok yang dianggap memiliki pengetahuan sahih dan/atau kekuasaan legitim”. Istilah ini memiliki dua arti, yaitu
1. dalam arti positif: otoritas diterima karena keuntungan yang diperoleh, dari suatu sumber lainnya, dan
2. dalam arti negatif: otoritas dipandang sebagai penindas dan pelaku pengetahuan dan kekuasaan yang tidak sah.
Perdebatan yang sering mengemuka di antara para teoretisi tentang konsep otoritas adalah masalah tentang apakah kekuasaan (seperti agama dan tradisi) itu merupakan bagian dari suatu cakrawala yang sekarang nyaris lenyap dari dunia yang tengah diliputi krisis kekuasaan, atau kekuasaan itu justru telah mengubah semua bentuk perangkatnya, tapi masih tetap ada dalam bentuk yang modern, yakni tercipta dalam masyarakat industri maju yang rasional. Menurut April Carter, dua pandangan tersebut dipahami dengan dua pendekatan yang berbeda. Pandangan yang pertama didukung oleh para teoritisi sosiologi dan politik dengan mengalihkan perhatian pada tertib otokratis, yaitu kehidupan sosial yang dikendalikan oleh penghormatan terhadap hirarkhi, kebiasaan-kebiasaan, dan praduga-praduga yang tidak pernah direfleksikan. Sedangkan pandangan yang kedua didukung oleh Max Weber yang mengakui pentingnya tradisi sebagai sumber kekuasaan, tapi tetap berusaha mencari bentuk-bentuk kekuasaan alternatif yang disandarkan pada konsep negara birokrasi modern dan kehidupan yang menjunjung rasionalitas.
Hubungan otoritas dan demokrasi memunculkan pertanyaan tentang apakah otoritas itu diperlukan. Otoritas yang dimaksud adalah pengertian secara umum. Perlu tidaknya otoritas diukur menurut kapasitas dan tingkatan masyarakat. Masalah pengambilan keputusan secara langsung ataupun kolektif dalam sebuah masyarakat yang tingkatannya relatif kecil tidak diperlukannya otoritas karena prosesnya berjalan secara persuasif di mana masyarakat menganut nilai-nilai umum dan keyakinan yang sama (monolitik). Namun, semakin besar ukuran sebuah unit politik dan semakin kompleks kepentingan dan kepercayaan yang dianut, maka diperlukan adanya otoritas. Di sini otoritas dipahami sebagai terlembaganya nilai-nilai yang integratif dan representatif, sehingga dengan adanya majelis representatif di tingkat nasional mampu menyelaraskan berbagai kepentingan dan berdiri di tengah-tengah semua pandangan. Dengan demikian, otoritas dan demokrasi dapat dikompromikan.
Salah satu prinsip yang sangat diperhatikan dalam otoritas yang demokratis adalah konsep “kedaulatan rakyat”. Secara teoretis, konsep ini hanya akan eksis apabila rakyat benar-benar berkuasa, yaitu individu-individu yang memiliki kesamaan hak berpartisipasi dalam proses politik, dan didukung oleh tujuan pemerintahan yang menjamin kepentingan seluruh rakyat, bukan hanya orang-orang dari lapisan atas atau kelompok tertentu. Pandangan teoretis ini diproyeksikan dalam tindakan praktisnya, yaitu rezim-rezim politik yang mengakui menghargai kedaulatan rakyat harus berusaha mencapainya. Kedaulatan harus dinyatakan dengan tegas dalam bentuk pranata-pranata demokrasi.
Sebuah negara baru bisa dikatakan demokratis apabila kebebasan memang sudah dijunjung tinggi. Secara etimologis, kebebasan (freedom) berarti kualitas tidak adanya rintangan nasib, keharusan, atau keadaan di dalam keputusan atau tindakan seseorang. Sedangkan secara epistemologis, kebebasan pada umumnya adalah keadaan tidak dipaksa atau ditentukan oleh sesuatu di luar dirinya, kemampuan seseorang untuk berbuat atau tidak berbuat sesuai dengan kemauan dan pilihannya, dan kemampuan seseorang untuk memilih serta kesempatannya untuk memenuhi atau memperoleh pilihan itu.
Aristoteles menyebut bahwa landasan negara demokratis aalah kebebasan. Salah satu prinsip kebebasan adalah bahwa setiap orang secara bergantian mempunyai hak untuk memerintah dan diperintah dalam suatu komunitas politik. Franklin Delano Roosevelt, mantan presiden Amerika Serikat, menyebut ada empat kebebasan pokok manusia yang harus diperjuangkan dalam negara yang demokratis, yaitu
1. kebebasan berbicara dan berpendapat,
2. kebebasan bagi setiap orang untuk beribadat kepada Tuhan sesuai dengan caranya sendiri,
3. bebas dari kekurangan (ekonomi), dan
4. bebas dari rasa takut.
Di samping kebebasan, yang menjadi prinsip utama dalam konsep pemerintahan yang demokratis adalah ditegakkannya hukum sebagai pranata demokrasi. Hukum adalah suatu sistem norma-norma yang mengatur kehidupan dalam masyarakat (negara). Ada dua ciri khas yang terkandung dalam hukum. Pertama, adanya kepastian dalam pelaksanaannya, yaitu bahwa hukum itu secara resmi diperundangkan dilaksanakan secara pasti oleh negara. Kepastian hukum itu juga berarti bahwa setiap orang dapat menuntut agar hukum dilaksanakan dan tuntutan tersebut pasti dipenuhi, dan setiap pelanggaran terhadap hukum akan ditindak dan dikenai sanksi. Kedua, adanya dimensi keadilan yang terkandung di dalam hukum. Tuntutan keadilan mempunyai dua arti, yaitu bahwa hukum berlaku umum, dan hukum dituntut agar sesuai dengan cita-cita keadilan dalam masyarakat.
Pembahasan tesis ini mengaitkan isu syariah, sebagai padanan istilah hukum dalam Islam, dengan demokrasi. Secara umum, syariah dipahami sebagai segala yang diturunkan Allah SWT kepada Nabi Muhammad berbentuk wahyu yang terdapat dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Kata syariah, arti semulanya adalah “jalan menuju air”, yang maksudnya jalan ke arah sumber pokok kehidupan. Pengertian syariah sering disamakan dengan pengertian fikih, padahal keduanya berbeda. Syariah masih bersifat suci dan ilahi, sedangkan fikih sudah bersifat rekayasa manusia karena menyertakan interpretasi. Imam Syafi’i mendefinisikan fikih sebagai ilmu tentang hukum-hukum syariah yang bersifat amaliyah yang diperoleh dari satu-persatu dalilnya. Jadi, fikih sesungguhnya adalah apa yang dipahami manusia terhadap teks-teks suci al-Qur’an dan sunnah dengan melakukan ijtihad untuk menangkap makna-manka, illat-illat (sebab), dan tujuan yang hendak dicapai oleh teks suci tersebut.
Isu syariah dijadikan perjuangan sejumlah kelompok Islam dalam menyerukan pentingnya menegakkan hukum Islam dalam negara modern. Secara praktis, terdapat sejumlah negara Muslim yang menjadikan syariah sebagai dasar konstitusi kenegaraan. Pengertian syariah yang dimaksud adalah definisi yang pertama, yaitu wahyu ilahi dengan dasar Al-Qur’an dan Sunnah. Pemahaman yang seharusnya dikedepankan dalam persoalan politik adalah definisi fikih, bukan syariah. Dengan konsep fikih, maka terbukanya ragam interpretasi terhadap hukum agama yang akan diterapkan dalam konstitusi negara. Dengan demikian, kaitannya dengan demokrasi akan coba dibahas dalam penelitian tesis ini.
E. Metode Penelitian
Penelitian kepustakaan ini menggunakan pendekatan analitis-interpretatif dan juga melakukan kajian perbandingan pemikiran Al-Jabiri dan Soroush tentang demokrasi dalam Islam. Untuk menganalisis pemikiran Al-Jabiri dan Soroush tentang demokrasi dalam Islam, saya akan meneliti dengan asumsi dasar bahwa sesungguhnya Islam sesuai (kompatibel) dengan demokrasi. Untuk membuktikan asumsi ini, saya memosisikan isu-isu otoritas, syariah, dan kebebasan sebagai indikator-indikator yang menguji apakah Islam memang dapat sesuai dengan demokrasi. Bila konsep otoritas dapat mengakui kedaulatan rakyat (manusia), syariah yang dipahami pada aspek kemaslahatannya, dan kebebasan yang sangat diakui dalam Islam, maka dengan demikian Islam itu dapat dikatakan kompatibel dengan demokrasi.
Studi ini berdasarkan pada penelitian kepustakaan (library research) yang data-datanya diperoleh melalui pelacakan sumber-sumber primer maupun sekunder. Sumber-sumber primernya terdiri dari karya-karya yang ditulis Al-Jabiri dan Soroush, sedangkan sumber-sumber sekundernya adalah publikasi-publikasi ilmiah yang ditulis intelektual-intelektual Muslim, baik tentang pemikiran al-Jabiri dan Soroush maupun yang berkenaan dengan isu-isu demokrasi dalam Islam.
Namun dalam proses pelacakan sumber, saya menghadapi kesulitan dalam menggunakan sumber primer Soroush disebabkan karena tulisan-tulisannya banyak yang ditulis dalam bahasa Persia (Iran), sedangkan dua tulisan Soroush berbahasa Inggris yang dijadikan acuan dalam tesis ini adalah buku Reason, Freedom, and Democracy in Islam (2000) dan sebuah artikel dalam buku Charles Kurzman Liberal Islam (1998). Dengan keterbatasan seperti itu, saya agak kesulitan untuk memosisikan Al-Jabiri dan Soroush agar seimbang dalam cakupan kajiannya. Namun demikian, perbandingan pemikiran antar keduanya bisa dilakukan.
F. Sistematika Pembahasan
Untuk menjawab masalah-masalah dalam penelitian ini, maka tesis ini dibagi ke dalam lima bab. Bab pertama menjelaskan tentang latar belakang tesis ini, yang kemudian diikuti dengan formulasi masalah, signifikansi studi, kerangka teori, metode penelitian, dan sistematika pembahasan.
Bab kedua membahas tentang biografi dan peta pemikiran. Bagian pertama memberikan bahasan tentang biografi singkat dan karya-karya Al-Jabiri dan Soroush Sedangkan bagian kedua memaparkan epistemologi pemikiran kedua tokoh tersebut yang terbagi atas kritik nalar Arab dan teori interpretasi agama.
Bab ketiga membahas tentang hubungan Islam dan demokrasi. Bagian pertama menganalisis tentang bagaimana sejarah pertemuan umat Islam dengan konsep demokrasi. Bagian kedua menganalisis respon intelektual muslim dan barat tentang demokrasi dalam Islam, termasuk di dalamnya melakukan pemetaan tentang respon intelektual muslim. Sementara itu, bagian ketiga menganalisa perbandingan pendekatan Al-Jabiri dan Soroush dalam memahami hubungan Islam dan demokrasi, yang terbagi atas demokrasi dan syura, serta pembahasan tentang pemerintahan demokrasi agama.
Bab keempat mengkaji perbandingan pemikiran Al-Jabiri dan Soroush tentang isu-isu demokrasi dalam Islam. Bagian pertama mengulas tentang isu otoritas yang membicarakan tentang masalah kedaulatan Tuhan dan kedaulatan rakyat, juga masalah penentuan dan pembatasan khalifah. Bagian kedua mengulas tentang isu syariah, yang terdiri atas: pemahaman syariah dan penerapannya. Sementara itu, bagian ketiga adalah tentang isu kebebasan, yang membahas bagaimana pandangan Al-Jabiri dan Soroush tentang Islam dan kebebasan, termasuk di dalamnya perihal kebebasan beragama. Bab terakhir dalam tesis ini adalah kesimpulan.
Artikel Terkait